Tadabbur Al-Quran

Apakah Benar Bahwa Nabi Ibrahim Pernah Mencari Tuhan?

Apakah Benar Bahwa Nabi Ibrahim Alaihissalam Pernah Mencari Tuhan?

Oleh Mohammad Affan Basyaib, B.Ed | @affanbsy

(Quranic Studies King Saud University)

Dahulu saat kita belajar di sekolah mungkin pernah ada yang diajari bahwa Nabi Ibrahim pernah mencari tuhan saat masih kecil dan pencariannya dari bintang, bulan kemudian matahari, dan dalil yang digunakan adalah Surat Al-An’am ayat 76-78.

Allah berfirman,

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآَفِلِينَ ( ) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ ( ) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

artinya:

Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (Al-An’am: 76 – 78)

Namun, pertanyaannya apakah benar konteks ayat diatas adalah bahwa Nabi Ibrahim pernah mencari Tuhan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita ketahui bersama bahwasannya pada zaman Nabi Ibrahim ini kaumnya telah melakukan perbuatan kesyirikan menyekutukan Allah Azza Wa Jalla dimana perbuatan kesyirikan tersebut dirupakan dalam bentuk penyembahan kepada berhala-berhala.

Bentuk penyembahan kepada berhala-berhala yang dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim ini bentuknya adalah simbol dari benda-benda langit yang mereka sembah seperti bintang, bulan dan matahari, jadi mereka membuat berhala yang melambangkan benda-benda langit tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan juga At-Thahir ibnu Asyur di dalam tafsirnya.

Nah, sekarang kita masuk pada pertanyaan diatas, apakah benar bahwa ayat 76-78 dimana sebagian kaum muslimin memahami ayat-ayat tersebut dengan pemahaman bahwa Nabi Ibrahim melakukan perjalanan mencari Tuhan semasa kecil?

Kita akan mendiskusikan jawaban dari pertanyaan di atas berikut ini:

Pertama, Kita harus memahami konteks ayat ini secara menyeluruh bahwa Kisah Nabi Ibrahim ini dimulai dari ayat 74 sampai 80 di surat Al-An’am, sehingga nantinya kita bisa memahami ayat-ayat ini secara sempurna.

Allah memulai dengan firmanNya dalam surat Al-An’am ayat 74:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آَزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آَلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

artinya:

Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan.” (Al-An’am: 74)

Kemudian Allah tutup kisah ini di ayat ke 80,:

وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ……………………………..”

Kaumnya membantah Ibrahim. Lalu Ibrahim menyanggah, “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku…………………………….” (Al-An’am:80)

Kedua, Setelah kita mengetahui bahwa dimulai dari ayat ke 74 hingga 80 barulah kita bisa melihat bahwa konteks ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Loh Mengapa begitu? baik kita akan jelaskan dalam beberapa poin berikut:

  1. Karena disini konteks sebenarnya adalah bahwa Nabi Ibrahim sedang berdebat dengan kaumnya dimana debat ini dimulai saat Nabi Ibrahim berdebat dengan ayahnya.

Inilah yang benar dan menjadi pendapat mayoritas ulama ahli tafsir, seperti Ibnu Athiyyah Al-Andalusi (w.541H), Ibnu Katsir (w.774H),  Ibnu Hazm (w.1064H), Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (w.1371H), Abdurrahman Al-Muallimi Al-Yamani (w.1386H) Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi (w.1393H), dan Ibnu Asyur (w.1393H).

Oleh karena itu Allah tutup dengan firmanNya:

وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ………….

Kaumnya membantah Ibrahim. Lalu Ibrahim menyanggah, “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku……….” (Al-An’am: 80)

Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah saat menjelaskan tafsir ayat ke 79 dari surat Al-An’am, beliau berkata:

والحق أن إبراهيم، عليه الصلاة والسلام، كان في هذا المقام مناظرا لقومه، مبينا لهم بطلان ما كانوا عليه من عبادة الهياكل والأصنام، فبين في المقام الأول مع أبيه خطأهم في عبادة الأصنام الأرضية.

Yang benar bahwa Ibrahim alaihis shalatu was salam, pada posisi itu beliau sedang berdebat dengan kaumnya. Beliau menjelaskan kebatilan aqidah mereka dan kesyirikan mereka, berupa penyembahan terhadap struktur simbol (batu keramat) dan patung-patung. Allah menyebutkan di bagian pertama, Ibrahim berdebat dengan ayahnya untuk menjelaskan kesalahannya menyembah berhala. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/292)

Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim sedang berdebat dengan kaumnya adalah pemaparan yang Allah jelaskan di ayat 83 dari surat Al-An’am:

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آَتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ

Itulah hujjah yang kami berikan kepada Ibrahim untuk menjawab kesyirikan kaumnya. (Al-An’am: 83)

Kita sudah jelaskan di awal pembahasan bahwa kaum Nabi Ibrahim menyembah berhala dengan simbol benda-benda langit, sehingga Nabi Ibrahim dalam debatnya menggunakan pemisalan dari benda-benda langit juga agar kaumnya bisa diajak berpikir dan merenungkan apa-apa yang ingin diungkapkan oleh Nabi Ibrahim. Ini adalah gaya bahasa dalam dakwah yang sangat menarik dan tidak langsung menyalahkan apa yang dilakukan oleh kaumnya, namun di awal mengajaknya berpikir dengan memberikan pemisalan kemudian setelah itu baru menjelaskan Al-Haq (kebenaran) yang sepatutnya menjadi keyakinan kaumnya.

2. Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah berbuat kesyirikan sama sekali, dan diantara dalil yang menjelaskan hal ini sangatlah banyak, diantaranya adalah:

Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim dalam surat An-nahl ayat 123:

ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl:123)

Demikian pula di ayat yang lainnya, Allah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 67:

مَا كَانَ إِبْرَٰهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (Ali-Imran:67)

Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asysyinqithi menjelaskan dalam kitabnya Al-Adzbul Munir (1/414), “Bahwa dalam ayat diatas Allah menafikan masa lalu Ibrahim bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah berbuat kesyirikan dan penafian di masa lalu ini memberikan faidah penafian di semua masa lalunya secara tidak terbatas

Beliau juga melanjutkan , “Bahwa penafian kesyirikan Nabi Ibrahim ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim sama sekali tidak pernah berbuat kesyirikan kepada Allah Azza Wa Jalla

3. Allah sendiri yang menegaskan bahwasannya Nabi Ibrahim telah mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Allah untuk beribadah kepada Allah saja. Coba kita renungkan ayat di bawah ini dalam surat Al-Anbiya’ ayat 51-52:

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ * إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (Al-Anbiya: 51 – 52)

dan Al-Imam Ibnu Katsir berusaha menjelaskan dengan bentuk sanggahan agar kita juga merenungkannya,

(وكيف يجوز أن يكون إبراهيم الخليل ناظرا في هذا المقام، وهو الذي قال الله في حقه: { وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ

Bagaimana mungkin Ibrahim Al-Khalil mencari tuhannya ketika itu, sementara Allah menegaskan tentangnya, (yang artinya): “Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya…” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/292)

4. Konteks ayat ini berada setelah Nabi Ibrahim telah menjadi Nabi dan Rasul bukan sewaktu Nabi Ibrahim masih kecil sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Allamah Abdurrahman Al-Mua’llimi , beliau mengatakan, ”

وسياق هذه الآيات في الأنعام ظاهر أنها كانت بعد نبوته

dan konteks ayat dalam surat Al-An’am ini jelas menunjukkan bahwa perdebatan ini terjadi setelah Nabi Ibrahim menjadi Nabi dan Rasul” (Atsar Abdurrahman Al-Muallimi, 3/679)

dan juga penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam tafsirnya Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Mannan,

وهذا الذي ذكرنا في تفسير هذه الآيات، هو الصواب، وهو أن المقام مقام مناظرة، من إبراهيم لقومه، وبيان بطلان إلهية هذه الأجرام العلوية وغيرها. وأما من قال: إنه مقام نظر في حال طفوليته، فليس عليه دليل

Apa yang telah kami jelaskan mengenai tafsir ayat ini, demikianlah yang benar. Yaitu bahwa posisi Ibrahim ketika itu adalah posisi berdebat dengan kaumnya. Dan dalam posisi sedang menjelaskan batilnya keyakinan menuhankan benda-benda langit dan selainnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Ibrahim dalam posisi mencari Tuhan ketika ia masih anak kecil, ini tidak didukung oleh dalil

5. Fitrah Nabi Ibrahim yang lurus adalah mengenal Allah Azza Wa Jalla sebagai Rabb dan Satu-satunya ilah yang berhak untuk disembah, sehingga tidak mungkin Nabi Ibrahim melakukan perbuatan kesyirikan.

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 120

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukan termasuk orang musyrik.”

Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat diatas dengan penjelasannya berikut ini,

فإذا كان هذا في حق سائر الخليقة، فكيف يكون إبراهيم الخليل -الذي جعله الله { أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ }  ناظرا في هذا المقام ؟! بل هو أولى الناس بالفطرة السليمة، والسجية المستقيمة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم بلا شك ولا ريب.

Jika semua makhluk memiliki fitrah, sehingga Ibrahim, yang Allah nyatakan dalam firman-Nya, (yang artinya) ‘Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukan termasuk orang musyrik.’ Bagaimana mungkin Ibrahim yang seperti itu, mencari tuhan? Kita tidak ragu, beliau adalah manusia yang paling layak untuk mendapatkan fitrah yang lurus setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/293)

 

KESIMPULAN:

Kita bisa simpulkan bahwa yang benar -wallahu a’lam- adalah Nabi Ibrahim dalam posisi berdebat dengan kaumnya dan bukan dalam rangka mencari tuhan. Inilah pendapat yang benar, sehingga Allah Azza Wa Jalla mengakhiri kisah tersebut dengan firmanNya:

وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ………….

“Kaumnya membantah Ibrahim. Lalu Ibrahim menyanggah, “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku……….” (Al-An’am: 80)

Wallahu A’lam Bis Showab..

Semoga bermanfaat.

———————————

Bahan Bacaan

  1. Tafsir Ibnu Katsir, Al-Hafidz Ibnu Katsir
  2. Al-Muharror Al-Wajiz, Imam Ibnu Athiyyah Al-Andalusi
  3. Al-Fashl fil Milal, Ibnu Hazm
  4. Al-Adzbul Munir, Muhammad Al-Amin Asysyinqithi
  5. Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, Abdurrahman As-Sa’di
  6. At-Tawassul wal Wasilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
  7. Atsar Al-Imam Abdurrahman Al-Muallimi Al-Yamani
  8. At-Tahrir wat Tanwir, At-Thahir Ibnu Asyur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply