Integrasi Nilai Islam dan Pendidikan Modern: Refleksi dari Dialog bersama Prof. Abdul Mu’ti
Oleh: Mohammad Affan Basyaib, B.Ed., M.Ed
(Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan King Saud University)
Pada tahun 2022, pertemuan saya dengan Prof. Abdul Mu’ti di kantor pusat Muhammadiyah di Jakarta merupakan pengalaman berharga yang memperkuat kesadaran saya akan peran beliau yang signifikan dalam pendidikan dan keagamaan di Indonesia. Saat itu, beliau menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan memiliki visi luas dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan sistem pendidikan modern. Hal ini menjadi inspirasi dalam mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana nilai-nilai Islam dapat bersinergi dengan teori-teori pendidikan kontemporer.
Kini, penunjukan Prof. Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah untuk periode 2024-2029 adalah bukti kepercayaan besar terhadap kemampuannya. Beliau diperkirakan akan berfokus pada pengembangan kurikulum yang adaptif, peningkatan kualitas guru, serta akses pendidikan yang merata di seluruh Indonesia. Langkah-langkah ini dapat dikaitkan dengan teori-teori pendidikan modern yang relevan, seperti teori konstruktivisme (Jean Piaget dan Lev Vygotsky), teori pembelajaran sosial (Albert Bandura), dan teori pendidikan humanistik (Carl Rogers dan Abraham Maslow).
Teori konstruktivisme, yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi aktif antara individu dan lingkungannya. Ini sejalan dengan prinsip pendidikan Islam yang mendorong pembelajaran melalui pengalaman nyata dan refleksi. Contoh dalam Islam adalah bagaimana Imam Syafi’i menekankan pentingnya mengamalkan ilmu, tidak hanya mempelajarinya secara teoritis. Hal ini tercermin dalam pendekatan konstruktivis yang menekankan pentingnya belajar dari interaksi langsung dengan dunia nyata.
Teori pembelajaran sosial Albert Bandura, yang menekankan pentingnya observasi dan imitasi, berhubungan erat dengan konsep teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam Islam. Dalam pendidikan Islam, para guru dan tokoh masyarakat, seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, berperan sebagai model yang harus diteladani oleh siswa, baik dalam hal pengetahuan maupun akhlak. Teori Bandura ini menekankan bahwa pembelajaran tidak hanya melalui apa yang diajarkan secara langsung, tetapi juga melalui apa yang dilihat dan dialami dari figur-figur yang dihormati.
Teori pendidikan humanistik yang dikembangkan oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow menekankan pengembangan individu secara holistik, baik secara kognitif maupun emosional, yang sejalan dengan konsep pendidikan dalam Islam yang bertujuan untuk membentuk manusia yang seimbang dalam aspek spiritual dan intelektual. Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan pemikir Muslim, mengajarkan pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi juga membangun etika dan moralitas. Pendekatan humanistik dalam pendidikan Islam menekankan pentingnya membimbing siswa untuk mencapai potensi penuh mereka, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat yang bermanfaat.
Pendidikan dalam Islam memiliki landasan yang kuat, seperti terlihat dalam firman Allah di surah Al-Alaq ayat 1-5, yang memulai dengan kata “اقْرَأْ” (bacalah), menekankan pentingnya membaca, belajar, dan memperoleh ilmu pengetahuan. Prof. Abdul Mu’ti, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, kemungkinan akan terus berusaha memadukan nilai-nilai ini dengan kebutuhan pendidikan modern. Peran Prof. Mu’ti di dunia pendidikan mencerminkan tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa pendidikan dasar dan menengah di Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pengembangan moral dan spiritual siswa.
Dengan latar belakang beliau di Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti diperkirakan akan memimpin arah pengembangan pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan ilmu pengetahuan modern. Fokus pada peningkatan kualitas guru, penyusunan kurikulum yang adaptif, dan pemerataan akses pendidikan akan sangat krusial. Program-program pendidikan yang memadukan pendekatan konstruktivis dengan ajaran-ajaran moral Islam akan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bermoral dan beretika tinggi.
Pengalaman berdiskusi dengan Prof. Abdul Mu’ti memberikan wawasan berharga yang dapat digunakan dalam pengembangan program-program pendidikan yang relevan dan efektif. Wawasan beliau tentang tantangan dan peluang dalam sistem pendidikan Indonesia sejalan dengan visi Al-Ghazali tentang pentingnya pendidikan yang memadukan antara ilmu pengetahuan dan akhlak. Dengan latar belakang tersebut, ada peluang besar untuk merancang strategi pendidikan yang lebih menyeluruh, yang tidak hanya mengembangkan keterampilan akademik, tetapi juga membangun karakter yang kuat dan tangguh berdasarkan nilai-nilai Islam.
Kolaborasi atau dialog lebih lanjut dengan beliau dapat memperkuat kontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama dalam upaya menciptakan generasi yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Dengan dukungan kebijakan yang berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan, program-program yang dikembangkan bersama beliau bisa fokus pada pemberdayaan tenaga pendidik, pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal, serta peningkatan akses pendidikan bagi semua kalangan, termasuk daerah-daerah terpencil. Kesempatan ini juga membuka jalan untuk memperluas diskusi mengenai pentingnya integrasi nilai-nilai agama dalam pendidikan modern, yang dapat membantu menciptakan pendidikan yang tidak hanya relevan dengan kebutuhan zaman, tetapi juga berakar pada moralitas dan spiritualitas yang kuat.